Kemenag

Kemenag Dorong Santri Banyumas Kembangkan Potensi Daerah

Kemenag Dorong Santri Banyumas Kembangkan Potensi Daerah
Kemenag Dorong Santri Banyumas Kembangkan Potensi Daerah

JAKARTA - Peran santri di era modern terus mengalami transformasi. Tak lagi hanya dikenal sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan, kini santri dituntut menjadi penggerak pembangunan daerah yang mampu menghadirkan perubahan nyata di berbagai bidang kehidupan.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Banyumas, Ibnu Asaddudin, saat memimpin Apel Peringatan Hari Santri Nasional X Tahun 2025 di Alun-Alun Purwokerto, Jawa Tengah. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa santri memiliki tanggung jawab besar untuk ikut mengelola dan mengembangkan potensi daerah tanpa melupakan jati diri mereka sebagai insan pesantren.

“Perkembangan santri itu tantangan dari zaman dulu. Santri harus siap dipanggil negara kapan saja, siap menjadi apa saja, tapi tidak boleh meninggalkan jati dirinya,” ujar Ibnu.

Menurutnya, semangat keislaman dan keindonesiaan yang melekat pada diri santri menjadi fondasi moral yang penting dalam membangun bangsa. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis karakter dan spiritualitas memiliki peran strategis dalam melahirkan generasi yang adaptif terhadap perubahan, namun tetap berpijak pada nilai luhur.

Hadir di Semua Bidang: Dari Ekonomi hingga Seni

Ibnu menegaskan bahwa santri masa kini tidak boleh terpaku pada ruang belajar tradisional semata. Tantangan zaman menuntut mereka untuk mampu berkiprah di berbagai sektor kehidupan—mulai dari ekonomi, olahraga, seni, hingga musik—tanpa kehilangan ciri khas pesantren yang sederhana dan beretika.

“Era sekarang menuntut santri agar tidak hanya fokus pada pengajian dan pendidikan agama, namun juga mampu hadir di berbagai bidang seperti ekonomi, olahraga, seni, dan musik,” jelasnya.

Keterlibatan santri dalam dunia ekonomi, misalnya, dapat diwujudkan melalui pengembangan wirausaha pesantren atau produk halal berbasis komunitas lokal. Sementara di bidang seni dan budaya, santri dapat menjadi duta moderasi beragama dengan menghadirkan karya yang merepresentasikan nilai toleransi dan perdamaian.

Ibnu juga menilai pentingnya sinergi antara pesantren dan masyarakat luas. Ia berharap, tidak ada lagi jarak sosial antara keduanya agar semangat kebersamaan dalam membangun Indonesia semakin kuat.

“Pondok pesantren yang dulu seakan-akan tertutup harus membuka diri, dan masyarakat juga harus mengenal karakter santri dengan lebih baik,” katanya.

Sinergi Lintas Sektor untuk Kemandirian Pesantren

Ibnu menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci penguatan pesantren yang mandiri dan produktif. Pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, serta lembaga keuangan seperti Bank Indonesia (BI), diharapkan terus memperluas dukungan terhadap pengembangan kapasitas santri.

“Kalau semua stakeholder di Banyumas dan Indonesia turun tangan, saatnya santri bisa menguasai dunia. Sesuai tagline Hari Santri Nasional Tahun 2025,” ujarnya optimistis.

Ia menjelaskan bahwa selama ini pemerintah telah memberikan dukungan sesuai kemampuan yang dimiliki. Namun, kemandirian pesantren tetap harus diperkuat melalui kerja sama berkelanjutan.

Kolaborasi dengan Bank Indonesia menjadi salah satu contoh nyata. Program-program seperti hijau masjid, santri berprestasi, dan pesantren mandiri telah digulirkan untuk memperkuat peran santri dalam ekonomi berkelanjutan dan lingkungan hidup.

“Sinergi dengan BI sudah terwujud melalui program hijau, masjid hijau, santri berprestasi, hingga pesantren mandiri. Semua bergerak agar Indonesia tetap tenang gara-gara santri,” tutur Ibnu.

Menurutnya, bila semua pihak bersatu mendukung, pesantren dapat berkembang menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, bukan hanya tempat belajar agama.

Pesantren Mandiri, Santri Tangguh

Di Kabupaten Banyumas sendiri, terdapat sekitar 7.000 santri yang belajar di 221 pondok pesantren, dengan lebih dari 2.000 ustaz yang membimbing mereka. Angka tersebut menunjukkan potensi besar untuk pengembangan ekonomi dan pendidikan berbasis pesantren.

Namun, Ibnu mengakui bahwa tantangan terbesar masih terletak pada pembiayaan pesantren, yang sebagian besar masih ditanggung oleh para kiai. Banyak santri berasal dari kalangan ekonomi lemah, sehingga pesantren harus berjuang keras untuk tetap bertahan.

“Banyak pesantren yang santrinya dari kalangan tidak mampu dan para kiai yang menanggung biayanya. Karena itu, masyarakat perlu memahami karakter pesantren yang sesungguhnya,” ujarnya.

Ia mengajak masyarakat luas untuk lebih peduli terhadap pesantren dan ikut serta dalam memperkuat ekonomi lembaga keagamaan tersebut. Menurutnya, pesantren dan masyarakat harus saling memahami serta bersinergi untuk menjaga semangat gotong royong dalam membangun bangsa.

“Tidak boleh menutup diri, karena Indonesia milik kita semua,” kata Ibnu menegaskan.

Dengan semangat Hari Santri Nasional ke-10, ia berharap santri di Banyumas dan seluruh Indonesia dapat terus berinovasi, berkontribusi, dan berkolaborasi dalam menghadirkan solusi atas berbagai tantangan daerah—baik di bidang pendidikan, sosial, maupun ekonomi.

Membangun Indonesia Lewat Kekuatan Pesantren

Semangat kemandirian pesantren dan daya juang santri diyakini akan menjadi kekuatan besar bagi pembangunan Indonesia ke depan. Bagi Ibnu Asaddudin, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga tulang punggung moral bangsa.

Ia menegaskan bahwa pesantren yang terbuka terhadap dunia luar tanpa kehilangan identitasnya akan mampu menjadi pusat perubahan sosial yang positif. Melalui pemberdayaan ekonomi, penguatan kapasitas, dan inovasi berkelanjutan, pesantren dapat berperan besar dalam mencetak generasi yang berkarakter, cerdas, dan peduli terhadap kemajuan bangsa.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index