Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Hukuman Mati Masih Berlaku dalam KUHP Nasional, Diterapkan dengan Pendekatan Khusus

Kamis, 10 April 2025 | 12:25:37 WIB
Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Hukuman Mati Masih Berlaku dalam KUHP Nasional, Diterapkan dengan Pendekatan Khusus

JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa hukuman mati tetap menjadi bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang telah disahkan. Meski begitu, penerapannya kini mengedepankan pendekatan yang lebih hati-hati dan bersifat khusus, mencerminkan penghormatan terhadap hak hidup manusia.

Dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu, 9 April 2025, Yusril menjelaskan bahwa pidana mati dalam KUHP Nasional tidak langsung dijalankan setelah adanya putusan pengadilan. Sebaliknya, jaksa wajib menyampaikan tuntutan pidana mati bersamaan dengan alternatif lain seperti hukuman penjara seumur hidup. Alternatif tersebut nantinya akan dipertimbangkan secara matang oleh majelis hakim.

“Secara substansi, pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional,” ungkap Yusril.

Grasi Jadi Syarat Sebelum Eksekusi

Yusril menekankan bahwa KUHP Nasional memberi kesempatan kepada setiap terpidana mati untuk mengajukan grasi sebelum hukuman dijalankan. Pengajuan grasi tersebut dapat dilakukan oleh terpidana sendiri, pihak keluarga, atau penasihat hukum, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ketentuan ini menjadi bentuk kontrol yuridis dan kemanusiaan sebelum hukuman paling berat dalam sistem pidana Indonesia itu dilaksanakan.

Masa Percobaan 10 Tahun untuk Hukuman Mati

Lebih jauh, KUHP baru juga memperkenalkan ketentuan masa percobaan untuk hukuman mati, sebagaimana tercantum dalam Pasal 99 dan 100. Hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Apabila selama masa tersebut terpidana menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, termasuk penyesalan atas kejahatan yang dilakukan, maka Presiden berwenang mengubah vonis pidana mati tersebut menjadi hukuman penjara seumur hidup.

“Pendekatan kehati-hatian ini berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa,” tutur Yusril. “Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan berat dan pelaksanaannya harus disertai pertimbangan yang sangat mendalam.”

Dimensi HAM dan Tafsir Filosofis

Penerapan hukuman mati dalam KUHP Nasional tidak lepas dari perdebatan panjang mengenai hak asasi manusia (HAM), terutama hak hidup. Yusril mengakui bahwa dalam konteks HAM, hukuman mati masih menjadi isu sensitif yang bergantung pada tafsir filosofis dan teologis terhadap makna hak hidup.

Ia menjelaskan bahwa meski dalam doktrin keagamaan klasik hukuman mati dianggap sah, saat ini telah muncul tafsir keagamaan modern yang menolak keberadaan hukuman tersebut. Ini mencerminkan adanya perkembangan pemikiran keagamaan dan moralitas sosial dalam merespons isu pidana mati.

“Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam mengambil keputusan,” ujar Yusril. Ia menekankan bahwa faktor tersebut menjadi alasan utama kenapa penerapan hukuman mati harus sangat selektif dan tidak tergesa-gesa.

Pidana Mati untuk Kejahatan Berat

Yusril juga menegaskan bahwa pidana mati dalam KUHP hanya berlaku untuk kejahatan luar biasa, seperti pembunuhan berencana, terorisme, atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini berarti bahwa KUHP baru memberikan ruang terbatas terhadap penggunaan hukuman mati, sehingga tidak sembarangan diterapkan.

“Hukuman mati bukan lagi sekadar instrumen penghukuman, tetapi mencerminkan pertimbangan hukum, etika, dan kemanusiaan,” tambahnya.

Penyesuaian dengan Hukum Internasional

Langkah ini dinilai sejalan dengan upaya harmonisasi hukum Indonesia dengan standar internasional. Meskipun Indonesia belum menghapus secara penuh pidana mati dari sistem hukum nasional, namun pendekatan baru dalam KUHP menunjukkan adanya pergeseran paradigma ke arah yang lebih humanis dan reformis.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Arief B. Soetanto, menyebut bahwa keberadaan masa percobaan dan syarat grasi adalah “mekanisme kontrol terhadap kemungkinan kesalahan putusan dan memberikan ruang rehabilitasi bagi terpidana.”

Terkini

IMF: Pertumbuhan Ekonomi Asia Diprediksi Melambat 2025

Jumat, 24 Oktober 2025 | 17:00:21 WIB

OJK Setujui Penutupan BPR Artha Kramat Tegal

Jumat, 24 Oktober 2025 | 17:00:19 WIB

Menkeu Purbaya Jelaskan Syarat Kenaikan Iuran BPJS

Jumat, 24 Oktober 2025 | 17:00:19 WIB

Menkeu Purbaya Soroti Rendahnya Kepatuhan Pajak Perhiasan

Jumat, 24 Oktober 2025 | 17:00:17 WIB

5 Tips Memilih Asuransi Untuk Keluarga Muda Ala Astra

Jumat, 24 Oktober 2025 | 17:00:14 WIB