JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memperkenalkan campuran etanol ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) mulai memasuki tahap serius. Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui kebijakan penggunaan E10, yaitu bensin dengan kandungan 10% etanol, dan kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun peta jalan implementasi.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya sebatas isu energi, tetapi juga terkait dengan kemandirian ekonomi bangsa. Menurutnya, penerapan E10 akan mengurangi ketergantungan pada impor BBM sekaligus membuka lapangan kerja baru di daerah penghasil bahan baku etanol.
“Tujuannya apa? Kita mengurangi impor. Dan etanol ini didapatkan dari singkong atau dari tebu. Dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi daerah, dan sekaligus pemerintahan,” ujar Bahlil.
Belajar dari Negara Lain
Bahlil menegaskan bahwa rencana campuran etanol bukanlah kebijakan tanpa dasar. Sejumlah negara telah lebih dulu membuktikan keberhasilan program ini. Brasil, misalnya, menjadi contoh utama dengan mencampur bensin hingga 27% etanol, bahkan di beberapa wilayah mencapai 100% atau E100.
Amerika Serikat pun sudah lama mengadopsi E10 dan bahkan sebagian negara bagian memakai E85. India kini menjalankan E20, Thailand juga memakai E20, dan Argentina memilih E12.
“Jadi sangatlah tidak benar kalau dibilang etanol itu nggak bagus. Buktinya di negara-negara lain sudah pakai barang ini,” kata Bahlil menepis keraguan.
Kelebihan Etanol: Oktan Tinggi dan Ramah Lingkungan
Pakar bahan bakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto, menjelaskan sejumlah keunggulan etanol. Salah satunya adalah nilai oktan yang sangat tinggi, berada di kisaran 110–120 Research Octane Number (RON). Dengan tambahan 3,5% etanol, angka oktan bensin bisa meningkat sekitar 3,85 hingga 4,2 poin.
Selain itu, etanol yang berasal dari bahan nabati dianggap lebih ramah lingkungan. Penambahan etanol ke dalam bensin dapat menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) hingga 3,5%. Hal ini membuat penggunaan etanol sejalan dengan target pengurangan emisi dan agenda transisi energi bersih di Indonesia.
Tantangan yang Perlu Diantisipasi
Meski punya banyak keunggulan, penggunaan etanol sebagai campuran BBM juga menghadirkan tantangan. Tri mengingatkan bahwa kandungan energi etanol lebih rendah dibandingkan bensin murni.
“Etanol sekitar 26,8–29,7 MJ/kg, bensin sekitar 40 MJ/kg, sehingga penambahan etanol 3,5% menurunkan kandungan energi pada campuran bensin + etanol sebanyak 1%,” jelasnya.
Selain itu, etanol bersifat higroskopis, artinya mudah menyerap uap air. Jika kadar air meningkat, kualitas etanol akan turun dan bisa menurunkan nilai RON. Kondisi ini dapat memengaruhi performa mesin, terutama kendaraan lama yang masih menggunakan komponen berbahan karet atau seal yang tidak kompatibel dengan etanol.
“Etanol juga mengandung oksigen, sehingga meningkatkan Air Fuel Ratio (AFR) yang dapat mengakibatkan mesin panas,” kata Tri.
Kendaraan Modern Lebih Siap
Walau begitu, Tri menegaskan bahwa kendaraan modern relatif lebih siap menghadapi campuran etanol. Mesin keluaran terbaru umumnya bisa menerima bensin dengan kadar etanol hingga 20% (E20) tanpa masalah berarti. Hanya saja, ia mengingatkan bahwa kebutuhan aditif pengendali deposit dalam bensin akan meningkat jika etanol dicampurkan.
“Komponen karet dan seal pada kendaraan lama berpotensi tidak kompatibel terhadap campuran etanol. Tapi kendaraan modern bisa menerima bensin dengan kadar etanol sampai dengan 20%,” ujarnya.
Peluang Ekonomi dari Singkong dan Tebu
Salah satu aspek penting dari penerapan E10 adalah pemanfaatan bahan baku dalam negeri. Etanol yang akan digunakan berasal dari singkong dan tebu, dua komoditas yang banyak dihasilkan di Indonesia. Hal ini berpotensi membuka rantai ekonomi baru, mulai dari petani, industri pengolahan, hingga distribusi energi.
Dengan demikian, kebijakan E10 tidak hanya soal energi ramah lingkungan, tetapi juga strategi memperkuat ketahanan pangan dan energi secara bersamaan. Jika dikelola dengan baik, program ini bisa menjadi penggerak ekonomi daerah sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Menuju Transisi Energi Nasional
Penerapan E10 di Indonesia menjadi bagian dari langkah besar menuju transisi energi. Pemerintah ingin mempercepat pengurangan ketergantungan pada energi fosil dan memperluas penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan.
Meski implementasinya akan membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan infrastruktur, arah kebijakan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menata masa depan energi nasional. E10 dipandang sebagai langkah awal sebelum menuju campuran etanol yang lebih tinggi, sebagaimana dilakukan oleh Brasil atau India.
Rencana pencampuran etanol ke dalam BBM menjadi bagian penting dari strategi energi Indonesia di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan tujuan mengurangi impor, membuka lapangan kerja, sekaligus mendukung transisi energi bersih, kebijakan ini menyimpan potensi besar.
Namun, sejumlah tantangan teknis seperti penurunan energi, higroskopisitas, serta kompatibilitas mesin lama perlu dicermati sejak awal. Jika tantangan ini bisa diantisipasi, maka E10 berpeluang menjadi tonggak penting dalam sejarah energi Indonesia, menjembatani kemandirian energi sekaligus keberlanjutan lingkungan.