JAKARTA - Langkah Indonesia menuju pembangunan hijau semakin konkret dengan hadirnya aturan baru terkait nilai ekonomi karbon. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan iklim kini bukan sekadar agenda lingkungan, tetapi telah menjadi bagian penting dari strategi pembangunan nasional.
Aturan baru ini diharapkan mampu memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan karbon global, sekaligus memberi kepastian hukum bagi investor.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional yang resmi ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 10 Oktober 2025.
Regulasi anyar ini menggantikan Perpres No. 98 Tahun 2021, dan dipandang sebagai tonggak baru bagi tata kelola emisi karbon di tanah air.
Menyelaraskan Agenda Iklim dan Ekonomi
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menekankan, hadirnya Perpres baru ini adalah bentuk komitmen nyata Indonesia terhadap Persetujuan Paris sekaligus target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dengan regulasi yang lebih modern, pemerintah ingin memastikan bahwa aksi iklim dapat berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi nasional.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudjianto, menegaskan kebijakan ini memberi sinyal positif bagi dunia usaha.
“Dengan tata kelola yang kuat dan transparan, Perpres ini memperkuat peran nilai ekonomi karbon sebagai instrumen untuk membuka akses pembiayaan iklim internasional dan mendukung pencapaian target NDC Indonesia. Kebijakan ini menunjukkan bahwa aksi iklim menjadi pondasi ekonomi hijau yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,” kata Ary dalam siaran pers.
Masa Transisi Satu Tahun
Agar penerapan aturan baru berjalan efektif, pemerintah memberikan masa transisi selama satu tahun. Dalam periode ini, sejumlah aturan lama yang tidak lagi relevan akan dicabut atau disesuaikan. Tujuannya, agar sistem nilai ekonomi karbon dapat diimplementasikan secara efisien, transparan, dan terintegrasi dengan standar global.
Dengan adanya masa penyesuaian ini, diharapkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari instansi pemerintah hingga pelaku usaha, bisa beradaptasi dengan mekanisme baru tanpa mengganggu aktivitas bisnis maupun target pengendalian emisi.
Indonesia Menuju Pusat Pasar Karbon Global
Dampak besar dari regulasi baru ini juga diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan RI, Nani Hendiarti. Ia menilai, Perpres No. 110/2025 menandai kesiapan Indonesia untuk memainkan peran penting di tingkat global.
“Terbitnya Perpres No. 110/2025 menandai kesiapan Indonesia sebagai pusat global pasar karbon berintegritas yang mendukung pertumbuhan hijau yang berdaya saing,” ujar Nani.
Dengan penyederhanaan proses perdagangan karbon, aturan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik minat pembeli luar negeri yang semakin fokus pada produk dengan jejak karbon rendah.
Integritas dan Kepastian Hukum Jadi Fondasi
Dalam forum yang sama, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral, Mari Pangestu, menegaskan bahwa regulasi ini bukan hanya soal mitigasi iklim, tetapi juga penguatan posisi Indonesia dalam percaturan global.
“Dengan memperkuat transparansi, integritas, dan kepastian hukum, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra terpercaya dalam kerja sama multilateral dan perdagangan internasional yang berorientasi pada ekonomi hijau,” kata Mari.
Pernyataan tersebut mempertegas bahwa Perpres ini dirancang bukan semata untuk pemenuhan target iklim, tetapi juga untuk memastikan daya saing ekonomi nasional tetap terjaga.
Instrumen Baru, Harapan Baru
Secara teknis, Perpres No. 110/2025 menghadirkan beberapa pembaruan penting dalam tata kelola nilai ekonomi karbon, di antaranya:
Penyelarasan pengendalian emisi dengan arah pembangunan ekonomi.
Penyederhanaan proses perdagangan karbon agar lebih transparan dan terhubung secara global.
Penguatan koordinasi antarinstansi melalui tata kelola yang lebih efektif dan partisipatif.
Pemerintah berharap mekanisme baru ini mampu menarik lebih banyak investasi hijau sekaligus memperluas akses pembiayaan aksi iklim dari lembaga internasional.
Target Besar: Pertumbuhan Ekonomi Hijau
Tidak berhenti pada aspek lingkungan, kebijakan ini juga diarahkan untuk mendukung target besar pembangunan nasional. Pemerintah menekankan bahwa aksi iklim harus mampu memberikan manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat, mulai dari penciptaan lapangan kerja hijau, peningkatan investasi berkelanjutan, hingga mendorong daya saing industri.
Dengan aturan baru ini, Indonesia menegaskan bahwa ekonomi hijau bukan lagi pilihan, melainkan jalan utama pembangunan ke depan. Komitmen tersebut diperkuat oleh langkah strategis untuk memastikan setiap rupiah yang dihasilkan dari nilai ekonomi karbon benar-benar memberi kontribusi pada pencapaian target iklim sekaligus pertumbuhan nasional.
Hadirnya Perpres No. 110/2025 tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon menandai babak baru tata kelola iklim di Indonesia. Masa transisi satu tahun disiapkan agar implementasi berjalan lancar, sementara penyederhanaan mekanisme perdagangan karbon diharapkan memperluas peluang Indonesia menjadi pusat pasar karbon global.
Bagi pemerintah, aturan ini adalah wujud sinergi antara komitmen iklim dengan agenda pembangunan nasional. Sedangkan bagi pelaku usaha dan investor, regulasi baru memberikan kepastian hukum sekaligus membuka akses pembiayaan internasional yang lebih luas.
Dengan langkah ini, Indonesia semakin mantap menapaki jalur ekonomi hijau yang tidak hanya menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berdaya saing.