Penerimaan Pajak Melemah, Shortfall Berpotensi Kian Melebar Tahun Ini

Jumat, 17 Oktober 2025 | 11:11:04 WIB
Penerimaan Pajak Melemah, Shortfall Berpotensi Kian Melebar Tahun Ini

JAKARTA - Tren penerimaan pajak nasional mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang cukup mengkhawatirkan. Setelah sempat mencatat kinerja positif di awal tahun, kini tren tersebut justru melemah dan berpotensi membuat target penerimaan 2025 tak tercapai. 

Bahkan, sejumlah pengamat memperingatkan bahwa selisih kekurangan penerimaan alias shortfall bisa melebar cukup tajam jika tidak segera diantisipasi oleh pemerintah.

Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, situasi ini memperlihatkan bahwa pemulihan kinerja penerimaan pajak tahun 2025 tidak sekuat tahun sebelumnya. Sejak awal, outlook penerimaan sebenarnya masih cukup optimistis berada di kisaran 94% dari target. Namun, tren yang muncul dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan penurunan yang berkelanjutan.

“Awalnya outlook kita proyeksikan masih memungkinkan sampai 94% dari target, namun dengan pemulihan yang tidak sekuat dari tahun lalu, outlook penerimaan terus menurun. Dari 94% lalu ke 90% dan kini 85%-88%,” ujar Fajry.

Penurunan tersebut menjadi alarm serius bagi pemerintah. Jika kinerja penerimaan pajak tidak segera membaik dalam beberapa bulan ke depan, realisasi penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai 82,22% dari target nasional.

“Jika kinerja penerimaan dalam beberapa bulan ke depan sama dengan beberapa bulan terakhir, realisasi penerimaan akan dalam kisaran 82,22%,” tambahnya.

Fajry menilai, jika skenario tersebut benar terjadi, maka shortfall pajak atau defisit penerimaan akan melebar secara signifikan. Pada proyeksi sebelumnya, dengan asumsi capaian 94%, defisit diperkirakan hanya sekitar Rp131,36 triliun. Namun kini, dengan outlook terbaru di kisaran 82,22%, angka itu bisa membengkak hampir tiga kali lipat menjadi Rp389,26 triliun.

Dampak pada APBN 2026 dan Stabilitas Ekonomi

Kondisi penerimaan pajak yang melemah ini bukan hanya akan berpengaruh pada realisasi APBN tahun berjalan, tetapi juga akan menekan struktur APBN 2026. Bila realisasi pajak tahun 2025 benar-benar hanya 82,22%, maka pemerintah perlu melakukan lompatan besar untuk mencapai target tahun depan.

Menurut Fajry, agar APBN 2026 dapat memenuhi target penerimaan, kinerja pajak tahun depan harus tumbuh 30,98%, atau setara tambahan Rp557,66 triliun.

“Artinya, APBN 2026 semakin tidak rasional, defisit anggaran akan membengkak. Saya kira pemerintah perlu antisipasi instabilitas makro ekonomi yang akan terjadi pada tahun depan,” jelasnya.

Fajry menilai, tekanan fiskal ini akan semakin kompleks karena ruang untuk menaikkan pajak baru atau mengoptimalkan basis pajak sudah semakin terbatas. Dalam situasi ekonomi global yang tidak stabil, kebijakan yang terlalu agresif justru bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Risiko Pertumbuhan Pajak ke Zona Negatif

Selain ancaman shortfall, kondisi saat ini juga berpotensi menyeret pertumbuhan penerimaan pajak ke zona negatif. Berdasarkan data historis, capaian serupa pernah terjadi pada tahun 2015 dan 2016, masing-masing dengan pertumbuhan hanya 7,61% dan 4,32%.

Namun, jika tahun ini realisasi benar-benar hanya 82,22%, pertumbuhan pajak bisa terkontraksi hingga -6,85%, lebih dalam daripada kontraksi -4,55% yang sempat terjadi saat krisis keuangan global 2008–2009.

Situasi ini tentu menjadi tanda tanya besar, mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih tumbuh moderat di kisaran 4,7%–4,9%. Dengan laju ekonomi seperti itu, seharusnya penerimaan pajak masih dapat tumbuh positif, meski tidak signifikan.

“Jika penerimaan pajak tahun 2025 ini pada akhirnya tumbuh negatif, apalagi sampai kisaran -6,85%, ada apa? Sebuah anomali yang tidak normal menurut saya,” ujar Fajry menegaskan.

Tekanan Restitusi dan Harga Komoditas

Fajry juga mengingatkan bahwa tahun ini seharusnya tekanan restitusi pajak sudah berkurang dibanding tahun sebelumnya. Hal ini karena harga komoditas utama yang menjadi basis pajak, seperti batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan logam dasar, sudah mulai stabil dan tidak lagi mengalami penurunan tajam seperti di tahun 2024.

Dengan demikian, jika penerimaan tetap tidak menunjukkan perbaikan, kemungkinan ada faktor lain yang memengaruhi efektivitas pemungutan pajak atau penurunan kepatuhan wajib pajak.

Diperlukan Strategi Serius dan Realistis

Untuk menghindari risiko fiskal yang lebih dalam, pemerintah didorong segera menyiapkan strategi yang lebih realistis. Langkah-langkah seperti ekstensifikasi basis pajak, penguatan pengawasan terhadap restitusi, dan optimalisasi pajak digital bisa menjadi fokus utama.

Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan upaya menjaga daya beli masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, tekanan pajak yang terlalu berat bisa berdampak negatif terhadap konsumsi dan investasi domestik.

Kinerja pajak selalu menjadi indikator utama dari kesehatan fiskal suatu negara. Karena itu, sinyal pelemahan seperti saat ini perlu segera ditangani agar tidak menjalar menjadi krisis kepercayaan fiskal.

Jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam dua bulan terakhir tahun ini, maka 2025 bisa menjadi tahun pertama dalam satu dekade terakhir di mana pertumbuhan pajak nasional kembali terkontraksi secara tajam — sekaligus menjadi pengingat bahwa optimalisasi penerimaan bukan sekadar soal target, tetapi soal kepercayaan dan efisiensi kebijakan fiskal itu sendiri.

Terkini