JAKARTA - Sorotan terhadap pengelolaan dana pemerintah kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung dugaan adanya praktik “main bunga” di balik dana milik pemerintah yang mengendap di perbankan. Jumlah dana tersebut mencapai Rp653,4 triliun, mencakup simpanan pemerintah pusat dan daerah per Agustus 2025.
Dalam pidatonya pada acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025, Purbaya menilai bahwa tingginya jumlah uang mengendap di bank menunjukkan lemahnya optimalisasi belanja pemerintah. “Dana pemerintah yang mengendap secara keseluruhan mencapai Rp849,6 triliun, dan yang terbesar berada di bank umum sebesar Rp653,4 triliun,” ujar Purbaya.
Pernyataan tersebut menjadi perhatian publik karena membuka kembali persoalan klasik: mengapa dana publik dalam jumlah besar justru parkir di bank, bukan bergerak untuk mendukung program pembangunan dan perekonomian rakyat.
Dana Mengendap, Belanja Pemerintah Dinilai Belum Optimal
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi simpanan pemerintah di bank umum hingga Agustus 2025 merupakan yang tertinggi sepanjang empat tahun terakhir — bahkan melampaui posisi pada Desember 2021 hingga Desember 2024. Purbaya mengakui fenomena ini menunjukkan belum optimalnya penyerapan anggaran, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Namun, lebih jauh dari sekadar efisiensi anggaran, Purbaya mencurigai adanya kepentingan tersembunyi di balik dana yang mengendap itu. “Kami masih investigasi asal usul uang itu. Anak buah saya bilang tidak tahu, tapi saya tidak percaya. Ada kecurigaan mereka main bunga,” tegasnya saat diwawancarai wartawan usai acara di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Menurut Purbaya, dana pemerintah yang disimpan di perbankan berpotensi menimbulkan keuntungan bagi pihak tertentu melalui bunga deposito atau penempatan dana. Dugaan ini muncul karena skema penyimpanan dana pemerintah di deposito memberikan bunga yang secara logika lebih rendah dibandingkan bunga surat utang yang diterbitkan pemerintah.
“Kalau ditaruh di deposito seperti itu, return-nya pasti lebih rendah dari bunga obligasi. Artinya, pemerintah justru rugi,” ujarnya.
Struktur Dana Pemerintah di Perbankan
Dari total Rp653,4 triliun dana pemerintah yang tercatat di bank umum, sebagian besar disimpan dalam bentuk giro senilai Rp357,4 triliun, disusul tabungan sebesar Rp10,4 triliun, dan simpanan berjangka senilai Rp285,6 triliun.
Jika dirinci berdasarkan pemiliknya, pemerintah pusat memiliki simpanan sebesar Rp399 triliun, terdiri dari:
Giro: Rp168,5 triliun
Tabungan: Rp2,4 triliun
Deposito berjangka: Rp228,1 triliun
Sementara itu, pemerintah daerah tercatat menyimpan dana sebesar Rp254,3 triliun, yang mencakup:
Giro: Rp188,9 triliun
Tabungan: Rp8 triliun
Deposito berjangka: Rp57,5 triliun
Selain di bank umum, simpanan pemerintah pusat di Bank Indonesia (BI) juga masih signifikan, yakni Rp450,5 triliun per Agustus 2025. Namun, jumlah tersebut menurun drastis menjadi Rp238,9 triliun pada September 2025, setelah pemerintah memindahkan Rp200 triliun ke lima bank Himbara (bank-bank milik negara).
Pemerintah Siapkan Langkah Investigasi
Purbaya menegaskan, pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh dana yang mengendap tersebut, baik yang berada di bank umum maupun di Bank Indonesia. Ia ingin memastikan tidak ada praktik penyimpangan, termasuk potensi permainan bunga oleh oknum tertentu.
“Ke depan, kami akan periksa seluruh simpanan pemerintah, baik milik pusat maupun daerah, di bank umum maupun BI,” ujarnya.
Sebagai mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya memahami betul mekanisme keuangan dan perbankan. Oleh karena itu, ia tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian dari dana yang tampak mengendap itu merupakan investasi dari dana abadi seperti milik LPDP atau entitas pemerintah lain. Namun, ia menegaskan tetap akan menelusuri sumber dan peruntukannya secara rinci.
“Itu terlalu besar kalau ditaruh di deposito seperti itu. Karena pasti return dari bank-nya lebih rendah dari bunga obligasi. Saya rugi kalau begitu, jadi saya akan cek betul,” tegasnya.
Indikasi Sistemik dan Dampak bagi Perekonomian
Tingginya dana mengendap di perbankan berpotensi menahan laju ekonomi riil. Dana yang seharusnya dialirkan untuk belanja modal, subsidi produktif, atau proyek strategis justru tertahan di sistem keuangan. Dalam konteks ekonomi makro, kondisi ini juga bisa menekan efektivitas kebijakan fiskal dan memperlemah transmisi pertumbuhan yang diharapkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Purbaya sendiri sebelumnya menyoroti tekanan ekonomi yang terjadi pada April hingga Agustus 2025, terutama di sektor riil. Ia bahkan menyebut demonstrasi besar yang terjadi akhir Agustus lalu bukan dipicu instabilitas politik, melainkan tekanan ekonomi akibat daya beli yang menurun.
“Rakyat langsung merasakan tekanan ekonomi. Kalau sudah kesal, mereka turun ke jalan. Jadi itu bukan protes karena politik kacau, tapi karena ekonomi mereka susah,” kata Purbaya.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mempercepat perputaran dana publik melalui berbagai strategi, salah satunya dengan menempatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun di bank-bank Himbara. Langkah ini diharapkan dapat memperbesar likuiditas sektor perbankan agar mampu menyalurkan kredit ke sektor riil.
Menuju Transparansi dan Efisiensi Pengelolaan Kas Negara
Kasus dana mengendap di bank yang mencapai ratusan triliun ini menjadi ujian transparansi dan tata kelola keuangan negara. Pemerintah berjanji akan terus memantau pergerakan dana tersebut, memastikan bahwa uang publik tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar mandat fiskal.
Langkah investigasi yang digagas Purbaya diharapkan bisa menjadi momentum reformasi dalam pengelolaan kas negara—agar setiap rupiah anggaran benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar angka yang tidur di rekening perbankan.