JAKARTA - Pemerintah tengah menaruh perhatian serius pada upaya mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), langkah strategis ditempuh dengan mendorong pemanfaatan penuh cadangan gas dalam negeri yang memiliki kandungan C3–C4, bahan baku utama LPG.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, kondisi saat ini menunjukkan keterbatasan cadangan gas untuk LPG. Produksi domestik baru mampu menyuplai sebagian kecil dari kebutuhan nasional, sehingga mayoritas konsumsi masih ditutupi dengan impor.
“Cadangan gas kita untuk LPG itu sedikit sekali. Produksi dalam negeri hanya sekitar 1,4 juta ton,” ujar Bahlil.
Dengan kebutuhan nasional mencapai 8,5–9 juta ton per tahun, gap produksi itu jelas sangat besar. Situasi ini menuntut adanya perubahan kebijakan sekaligus optimalisasi lapangan gas yang tersedia agar ketergantungan pada impor bisa ditekan.
Beban Subsidi Negara Sangat Tinggi
Tingginya impor LPG tidak hanya menimbulkan risiko ketahanan energi, tetapi juga membebani anggaran negara. Subsidi LPG yang digelontorkan pemerintah setiap tahun sangat besar, mencapai Rp 80–87 triliun.
Selain itu, subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga memakan anggaran besar, yakni sekitar Rp 140–170 triliun, tergantung fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Bahlil menegaskan bahwa langkah untuk memperkuat produksi dalam negeri menjadi sangat penting, bukan hanya demi kemandirian energi, tetapi juga untuk mengurangi beban subsidi yang terus meningkat.
Dorongan Pembangunan Fasilitas Produksi LPG
Sebagai langkah nyata, pemerintah akan mendorong kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengelola lapangan gas dengan kandungan C3–C4 agar membangun fasilitas produksi LPG. Dengan demikian, potensi gas tidak lagi hanya difokuskan pada ekspor, tetapi juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
“Kita dorong hilirisasi batubara untuk DME sebagai pengganti LPG impor,” kata Bahlil menegaskan strategi substitusi lain yang dijalankan bersamaan.
Selain pengembangan fasilitas LPG dari lapangan gas, program hilirisasi batubara menjadi dimetil eter (DME) juga dipercepat. Kehadiran DME diharapkan bisa menjadi alternatif yang lebih terjangkau serta mengurangi ketergantungan pada LPG impor.
Potensi C3–C4 Belum Dioptimalkan
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengungkapkan bahwa sesungguhnya produksi gas dengan kandungan C3–C4 di beberapa lapangan sudah ada, tetapi belum dioptimalkan. Selama ini, perhatian lebih banyak tertuju pada gas dengan kandungan C1–C2 yang digunakan untuk Liquefied Natural Gas (LNG) dan diekspor.
“Potensi C2–C3 ini belum diambil secara maksimal. Kami akan mendorong agar lapangan gas dioptimalkan untuk produksi LPG,” ujar Laode.
Laode menegaskan bahwa secara regulasi, kerja sama antara KKKS dengan badan usaha untuk meningkatkan produksi LPG sudah memungkinkan dilakukan. Persoalannya lebih pada kemauan dan strategi pengelolaan sumber daya agar produksi LPG domestik benar-benar bisa ditingkatkan.
Regulasi dan Implementasi
Walaupun pemerintah belum menetapkan mandat khusus untuk memproduksi LPG secara domestik, Laode memastikan regulasi yang ada sudah cukup mendukung kerja sama. Artinya, ruang gerak sudah tersedia, tinggal bagaimana kontraktor dan pelaku usaha migas mengimplementasikannya.
“Ini lebih pada soal kemauan untuk mengoptimalkan potensi yang ada,” tutup Laode.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya bergantung pada program substitusi seperti DME, tetapi juga membuka peluang nyata bagi sektor migas untuk meningkatkan kontribusi LPG lokal.
Jalan Panjang Kurangi Impor LPG
Ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG merupakan persoalan lama yang terus membayangi kebijakan energi nasional. Dari total kebutuhan hampir 9 juta ton per tahun, produksi domestik hanya mampu menyediakan sekitar 15 persen. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi salah satu importir LPG terbesar di kawasan Asia.
Upaya memperkuat produksi dalam negeri menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya berdampak pada penghematan devisa, tetapi juga pada ketahanan energi. Dengan semakin banyaknya fasilitas produksi yang dibangun, diharapkan produksi LPG nasional meningkat secara bertahap.
Langkah ini pun selaras dengan arah kebijakan energi berkelanjutan yang dicanangkan pemerintah, di mana hilirisasi sumber daya alam dimaksimalkan untuk kepentingan nasional.
Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Dalam mengurangi ketergantungan pada impor LPG, keterlibatan sektor swasta menjadi sangat krusial. Pemerintah melalui ESDM mendorong agar KKKS aktif berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur LPG. Dengan dukungan regulasi dan kepastian pasar dalam negeri, diharapkan perusahaan migas berani mempercepat realisasi proyeknya.
Sementara itu, program substitusi LPG dengan DME dari hilirisasi batubara tetap berjalan paralel. Strategi ganda ini memungkinkan Indonesia untuk secara bertahap mengurangi impor tanpa harus mengorbankan kebutuhan energi rumah tangga yang terus meningkat.
Harapan ke Depan
Bahlil menegaskan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperbaiki struktur energi nasional jika semua potensi dikerahkan secara optimal. Meski cadangan gas untuk LPG terbatas, upaya memaksimalkan lapangan yang ada serta menghadirkan alternatif seperti DME dapat memberi dampak signifikan.
Langkah ini bukan hanya soal angka produksi, melainkan juga menyangkut kedaulatan energi dan keberlanjutan fiskal. Dengan pengurangan impor, negara bisa menghemat anggaran subsidi yang besar, sementara masyarakat tetap memperoleh akses energi dengan harga terjangkau.