Menteri UMKM

Menteri UMKM Usul Produksi Barang KW Hadapi Impor Murah

Menteri UMKM Usul Produksi Barang KW Hadapi Impor Murah
Menteri UMKM Usul Produksi Barang KW Hadapi Impor Murah

JAKARTA - Banjirnya produk impor murah, terutama dari China, terus menjadi tantangan berat bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Kondisi ini membuat produk lokal kesulitan bersaing, baik dari sisi harga maupun variasi barang. 

Menyikapi hal tersebut, Menteri UMKM Maman Abdurrahman melontarkan ide kontroversial: mendorong UMKM dalam negeri ikut memproduksi barang tiruan atau KW sebagaimana yang telah lama dilakukan di Negeri Tirai Bambu.

Menurut Maman, gagasan ini muncul sebagai bentuk keberanian mencari solusi alternatif di tengah derasnya arus barang tiruan dari luar negeri. Ia menilai, jika China bisa memproduksi barang KW secara masif tanpa menghadapi protes serius, maka Indonesia juga bisa meniru praktik serupa melalui tangan-tangan pengrajin lokal.

“Mungkin ya, tapi ini baru ide. Saya pikir daripada kita repot-repot ya, pusing-pusing, kenapa nggak UMKM kita juga produksi saja tas-tas KW juga kayak mereka [China], ini baru ide ya. 

Maksud saya, kenapa nggak kita coba? Jadi artinya kalau di China saja bisa bikin kayak begitu, kenapa di Indonesia nggak bisa bikin?” kata Maman dalam acara Trade Expo Indonesia (TEI) ke-40 di ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten.

Banjir Produk KW Impor dan Tekanan untuk UMKM

Fenomena masuknya produk tiruan dari China bukan hal baru. Pasar Indonesia selama bertahun-tahun telah dibanjiri berbagai produk KW, mulai dari tas, sepatu, pakaian, hingga aksesori, dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk asli maupun produk lokal. Akibatnya, UMKM yang memproduksi barang orisinal sering kali kesulitan mendapatkan pangsa pasar.

Maman menilai, ketimbang hanya meratapi nasib dan terus menjadi korban banjir impor, UMKM sebaiknya mencoba “twist mindset” dengan ikut memproduksi barang KW versi lokal. Dengan begitu, pengrajin dalam negeri tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi juga bisa meraih manfaat dari tren konsumsi produk tiruan.

“Kita harus coba twist mindset kita deh. Jangan selalu kita menjadi objek menderita terus. Sekali-sekali, jangan selalu jadi subjek dan objek penderita terus. Kita meratapi nasib protes-protes kan. Sedih gitu, wah ini barang ini masuk KW-1, KW-2, KW-3 gitu. Udah lah pusing-pusing, kita dorong aja nanti [UMKM membuat produk KW],” ujarnya.

Dari Louis Vuitton ke “Louis Vutong”

Dalam penjelasannya, Maman bahkan memberikan contoh konkret mengenai bagaimana UMKM bisa memanfaatkan peluang dari tren barang KW. Ia menyebut, jika China mampu memproduksi tas Louis Vuitton KW, maka pengrajin lokal juga dapat membuat produk serupa dengan nama berbeda, misalnya “Louis Vutong”.

“Iya, salahnya di mana [Indonesia membuat produk KW]? Namanya [merek] kan cuma tinggal kita ubah,” tutur Maman.

Menurutnya, langkah ini bukan hanya soal meniru bentuk produk, tetapi lebih pada bagaimana UMKM mampu menyerap pasar yang sudah terbiasa dengan produk tiruan.

Pandangan Maman Soal Protes Merek Asli

Kekhawatiran mengenai potensi protes atau gugatan dari pemilik merek asli juga ditanggapi santai oleh Maman. Ia menilai, selama produk KW tersebut diproduksi dan dipasarkan di dalam negeri, maka kemungkinan masalah hukum bisa diminimalkan.

“Siapa yang mau protes? Wong ini kita buat di tempat kita sendiri. Yang penting selama itu bisa memberikan kemanfaatan untuk masyarakat, untuk UMKM kita. Kenapa repot?” katanya.

Maman menegaskan, fokus utama adalah keberlangsungan UMKM yang selama ini terus ditekan oleh maraknya barang impor. Dengan ikut bermain di pasar produk tiruan, UMKM diharapkan bisa mendapatkan ruang napas untuk bertahan sekaligus berkembang.

Belajar dari Praktik China

Usulan Maman didasarkan pada pengamatan terhadap praktik di China. Negeri tersebut sudah sejak lama dikenal sebagai pusat produksi barang KW dengan skala masif. Mulai dari fashion, elektronik, hingga pernak-pernik rumah tangga, hampir semua memiliki versi tiruan yang beredar luas di pasar domestik maupun internasional.

Bagi Maman, praktik itu menunjukkan bahwa strategi KW bisa menjadi alat untuk menjaga daya saing industri kecil menengah. “Dan ini bagian daripada apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk dorong hilirisasi bauksit,” ujarnya.

Meski di banyak negara produksi barang KW dipandang melanggar hak kekayaan intelektual (HAKI), Maman menilai realitas pasar menunjukkan adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat.

Rencana Diskusi dengan Kemenperin

Sebagai tindak lanjut, Maman bahkan membuka kemungkinan untuk membahas ide ini lebih serius bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin), khususnya di sektor industri kecil menengah. Menurutnya, para pengrajin Indonesia memiliki keterampilan yang mumpuni untuk memproduksi barang tiruan dengan kualitas tinggi.

“Nanti saya juga akan bicara juga dengan Kementerian Perindustrian, Industri Kecil Menengah. Kita dorong aja pengrajin-pengrajin kita bikin juga produk yang KW-1, KW-2, KW-3,” pungkasnya.

Kontroversi dan Tantangan Hukum

Meskipun ide ini mungkin terdengar solutif bagi sebagian pelaku UMKM, usulan Maman jelas mengandung kontroversi. Pasalnya, produksi barang tiruan menyangkut isu serius terkait pelanggaran merek dagang dan perlindungan konsumen.

Di satu sisi, ada dorongan untuk melindungi UMKM dari serbuan produk impor murah. Namun, di sisi lain, kebijakan semacam itu berisiko menempatkan Indonesia dalam sorotan internasional terkait perlindungan hak kekayaan intelektual.

Bagaimanapun, diskusi ini membuka ruang baru dalam strategi menghadapi gempuran produk asing. Apakah Indonesia akan benar-benar mengikuti jejak China dalam hal produksi barang KW, atau justru mencari solusi lain yang lebih berkelanjutan, masih menjadi pertanyaan besar.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index