Etanol

Etanol Kembali Jadi Fokus Energi Bersih Nasional

Etanol Kembali Jadi Fokus Energi Bersih Nasional
Etanol Kembali Jadi Fokus Energi Bersih Nasional

JAKARTA - Pemanfaatan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) kembali mencuri perhatian di tengah upaya pemerintah menekan ketergantungan terhadap energi fosil. Namun, bagi kalangan akademisi, langkah ini bukanlah hal baru. 

Pengamat Pertambangan dan Energi, Prof. Wardana, mengungkapkan bahwa riset terkait penggunaan etanol dalam BBM sudah dilakukan sejak 1980-an, jauh sebelum isu energi hijau menjadi tren global.

“Kalau gasohol (gasoline alcohol) itu tahun 80-an, ya. Jadi waktu itu kita dapat dana besar dari BBBT. Tujuannya untuk menguji etanol 20 persen yang dicampur ke bensin,” ujarnya. Menurutnya, kala itu uji coba mencampurkan etanol hingga 30 persen ke dalam BBM sudah terbukti aman dan dapat digunakan pada kendaraan tanpa menyebabkan kerusakan mesin.

Ia menambahkan bahwa riset tersebut didorong oleh potensi besar Indonesia dalam memproduksi etanol dari sumber lokal, seperti singkong. Sayangnya, karena harga bahan bakar fosil sangat murah saat itu, program pengembangan energi alternatif ini tidak berlanjut. 

“Sekarang kondisinya berbeda. Harga bahan bakar jadi mahal, dan kita sudah impor. Nah, idenya Pak Habibie waktu itu adalah mengganti bahan bakar dengan yang bersih, karena etanol itu bahan bakar yang bersih,” jelas Wardana.

Campuran Etanol Tingkatkan Efisiensi dan Kualitas Bahan Bakar

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa penambahan etanol dalam bahan bakar justru memberikan dampak positif terhadap performa mesin dan efisiensi energi. Prof. Wardana menegaskan, riset yang dilakukannya bersama mahasiswa pascasarjana menunjukkan bahwa etanol dapat meningkatkan kadar oktan BBM, sehingga pembakaran di dalam mesin menjadi lebih sempurna dan efisien.

“Menurut hasil penelitian saya sekarang dengan mahasiswa S2, penambahan etanol justru meningkatkan kualitas bahan bakar. Jadi misalnya kita beli bahan bakar murah, lalu kita campur sendiri, kualitasnya bisa naik,” ungkapnya. 

Ia menilai bahwa teknologi ini berpotensi besar untuk diimplementasikan secara luas, terutama pada kendaraan bermotor yang masih menggunakan bensin konvensional.

Selain memperbaiki kualitas pembakaran, penggunaan etanol juga membantu mengurangi emisi gas buang. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon dan mempercepat transisi menuju energi bersih. 

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini tengah menyiapkan kebijakan mandatori biofuel, yang mencakup etanol 10 persen (E10) untuk bensin dan biodiesel 50 persen (B50) untuk solar pada 2026.

“Dengan menaikkan campuran biofuel, hampir semua BBM yang kita impor itu untuk kendaraan. Jadi kalau kita pakai E10 atau B50, impor kita bisa turun 10 sampai 20 persen,” ujar Wardana. Langkah ini diharapkan dapat menghemat devisa sekaligus memperkuat kemandirian energi nasional.

Pemerintah Siapkan Tahapan Mandatori Etanol Hingga Tahun 2028

Kementerian ESDM menetapkan target implementasi mandatori E10 untuk bahan bakar jenis bensin pada 2028. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa program ini akan melalui tahapan uji coba pasar terlebih dahulu selama dua hingga tiga tahun sebelum diterapkan secara wajib.

“Jadi penerapannya di sekitar 2028, dan itu untuk non PSO dulu,” jelasnya. Uji coba pasar saat ini sedang dilakukan melalui produk Pertamax Green 95 milik PT Pertamina (Persero), yang mengandung campuran bioetanol 5 persen (E5) dari molase atau ampas tebu. 

Proses trial market ini akan terus berjalan hingga 2026 mendatang untuk menilai kesiapan infrastruktur, performa kendaraan, dan respons konsumen.

“Tahun depan sudah pasti bergerak untuk E5. Kita harapkan E5 bertumbuh. Saya pinginnya itu konsumsinya makin tumbuh,” lanjut Eniya. Pemerintah berharap masyarakat semakin terbiasa menggunakan bahan bakar campuran bioetanol, sebelum akhirnya beralih sepenuhnya ke E10. 

Dengan demikian, transisi menuju energi terbarukan bisa berjalan lebih mulus tanpa menimbulkan gangguan terhadap pasokan BBM nasional.

Langkah bertahap ini juga memperlihatkan kehati-hatian pemerintah dalam memastikan ketersediaan pasokan etanol domestik, kesiapan teknologi di kilang, dan kemampuan pasar untuk menyerap produk berbasis biofuel.

Penyusunan Regulasi dan Kebutuhan Produksi Etanol Nasional

Untuk memastikan keberhasilan program mandatori E10, Kementerian ESDM tengah menyiapkan Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai dasar hukum pelaksanaannya. Regulasi ini akan menjadi pedoman bagi pelaku industri dan investor dalam mengembangkan fasilitas produksi etanol di dalam negeri.

“Nanti kalau ada mandatori, baru nanti keluar Kepmen, kita sedang bahas Kepmen. Karena Kepmen pentahapannya itu jadi acuan dari para investor atau pengusaha,” kata Eniya. Berdasarkan perhitungan pemerintah, kebutuhan etanol untuk tahap awal penerapan E10 mencapai sekitar 1,2 juta kiloliter per tahun.

“Kalau E10 ditetapkan, berarti kita perlu 1,2 juta kiloliter, untuk non PSO dulu. Jadi non PSO itu kita harapkan konsumsinya makin tinggi. Karena kan sekarang trennya dari PSO ke non PSO,” ujarnya. Produksi etanol nasional akan difokuskan pada bahan baku lokal seperti molase, singkong, dan tebu, yang melimpah di berbagai wilayah Indonesia.

Kebijakan ini diharapkan dapat menarik investasi baru di sektor bioenergi sekaligus menghidupkan kembali industri berbasis pertanian. Dengan adanya permintaan tinggi terhadap bahan baku etanol, petani tebu dan singkong berpotensi menikmati peningkatan kesejahteraan melalui harga jual yang lebih baik.

Transformasi Energi Nasional Menuju Masa Depan Rendah Emisi

Langkah pemerintah untuk memperluas penggunaan etanol di sektor transportasi menandai babak baru dalam transformasi energi Indonesia. Program ini bukan hanya tentang substitusi bahan bakar impor, tetapi juga tentang menciptakan sistem energi yang lebih bersih, efisien, dan berkelanjutan.

Dengan fondasi riset yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, dukungan teknologi baru, serta kebijakan yang semakin matang, pemanfaatan etanol kini menjadi agenda strategis nasional. Pemerintah optimistis, penerapan mandatori E10 akan mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan, sekaligus memperkuat ketahanan energi dalam negeri.

Jika seluruh tahapannya berjalan sesuai rencana, Indonesia berpeluang menjadi salah satu negara dengan sistem bioenergi paling maju di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, etanol bukan lagi sekadar alternatif, melainkan bagian integral dari upaya bangsa menuju kemandirian energi dan masa depan rendah emisi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index